Lima Bulan ke Depan
Baju baru
Bahan pokok terpenuhi
Sensus penduduk
Organisasi ini itu bergerak
Rumah-rumah dicat baru
Pakar non bersertifikat bermunculan
Orang-orang di kampung mendadak hebat
Perputaran ekonomi sangat cepat,
bahkan melebihi pendapatan desa
Orang-orang dari antah barantah senyum manis di persimpangan
Dan seorang penyair berkata;
Selamat memperingati hari Nicolo Machiavelli
Berbagai tradisi adat berlangsung di mana-mana
Solok Selatan, September 2023
Magrib Macet
Petang yang merah. Lengang di keramaian
Angin malam merendah kepada awan; dipenuhi gelisah dan senang
Sebelum melebur menjadi kenangan-kenangan
Hanya saja, Rakib dan Atib belum juga menembusi langit
Apalagi memungut kenangan-kenangan itu
Sebab, Magrib masih macet di kota yang sibuk ini
Padang, 2020
Nasib di Subuh Gerimis
Jalan dan bangku taman kedinginan
Pada Subuh yang menyisakan gerimis
Dan nasib sudah berlalu lalang di sepanjang jalan
(tenda-tenda pedagang kaki lima yang dibongkar,
dan gerobak dorong yang mengisi jalanan;
mencari hidup di tumpukan sampah semalam)
Sementara, gadis-gadis yang tergadai itu
Berdendang riang dalam pulang – dan membayang;
Nak. Santiang-santiang baraja yo nak!
Bia jadi urang gadang bisuak nak
Padang, 2021
Mengutuk Waktu
Menjelang pagi, kopi sudah tinggal ampas
Kisah-kisah tentang negeri peri
belum juga menemu akhir halaman
Tiba-tiba, semut datang – entah dari mana
Menggerogoti ampas kopi – yang mungkin manis baginya
Dalam hati aku mengutuk waktu
Haruskah ia melenyapkan yang tersisa?
Aku pun tertidur, di antara bayang
kisah negeri peri yang belum usai
Sijunjung, 2020
Anak-anak yang Kuyup
Hujan pun meninggalkan amis
Awan hitam melenggang dan matahari
mulai menampakkan diri.
Tetap saja, sekawanan balam dan merpati
masih enggan menapaki basahnya jalanan.
Hanyalah keluh kesah yang keluar
dari mulut-mulut yang mengutuk,
karena waktu yang telah menunda kesibukannya
TIDAK seperti anak-anak yang telah kuyup itu,
yang telah menjanjikan waktu dengan segala keriangan.
Padang, 2021
Menanggung Rindu
Cahaya matahari menyusup ke jendela
Menyoroti mataku, dan lalu membayangi sedihku.
Seperti tajamnya pisau, aku menatap tajam dan begitu dalam;
Menembus hutan – sungai – gunung – dan sampai kota.
Melihat dirimu yang masih bergelut dengan nasib
ketika ayam telah kembali ke kandangnya,
ketika itik telah pulang di petang hari,
dan ketika bangau telah kembali ke kubangannya.
Pada tatapan yang jauh ini
Aku menanggung rindu dan meratapmu
pada nasi yang telah bercampur tangis.
Ingin melihat kepulangan, berdendang riang
pada irama langkah kaki dan ayun tangan
Sijunjung, 2021
Aroma Teluk Bayur
Sore mulai memancarkan petang yang merah
Jalan-jalan sudah dipenuhi kendaraan yang berlalu lalang
Mengejar waktu – hendak pergi dan pulang
Dari bukit yang ditapaki, aku ingin melihat petang itu ke bukit yang lainnya
menuju bukit yang mungkin terabaikan sejarah.
Aku pun berjalan; menjadi kendaraan yang ikut berlalu lalang
Melewati aroma getah – yang kabarnya datang dari ujung desa
Melewati aroma kayu manis – yang kabarnya juga datang dari ujung desa yang lain
Entahlah, apakah kami ini memang hanya hadir untuk menanam
kemudian dituai oleh orang-orang yang tidak kami kenal?
Memasuki dingin malam, sekejap ingatan itu menghilang
Ketika memandang laut Teluk bayur; diselimuti petang yang merah
Dengan aroma getah dan kayu manis yang masih membekas di penciuman
Bukit Karamuntiang – Teluk Bayur, 2021
Kiki Nofrijum belajar ilmu puisi kepada siapa saja dan di mana saja. Puisinya masih bertaraf lokal – terbitnya juga di media massa cetak dan daring lokal. Sekarang menjadi wartawan untuk media cetak Harian Haluan Padang.
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post