Selain bercanda, para nelayan Piaman yang mengantarkan para pemancing menuju spot-spot pemancingan juga kerap menceritakan sejumlah urban legend tentang laut yang konon termasuk menantang ini. Pak Sidi, salah seorang pemilik kapal yang kerap mengarungi perairan Tiku hingga Mentawai menceritakan bahwa di laut Piaman ada ikan besar yang dipercaya bersahabat dengan nelayan. Ikan itu disebut dengan nama kancah-kancah. “Semacam paus baik yang kemunculannya kerap saat musim ambu-ambu,” sebutnya kala menghantarkan rombongan penulis menuju Gosong Tigo.
Aktivis lingkungan Kota Pariaman, Tomy Tambijo menjelaskan kepada penulis bahwa kancah-kancah adalah hiu paus. Hiu jenis ini tidak mengkonsumsi daging seperti hiu kebanyakan. Biasanya ikan ini muncul di daerah timur Indonesia. Namun, memang banyak kesaksian tentang kemunculannya di kawasan perairan Katapiang dan sekitarnya. “Hiu ini juga merupakan indikasi bahwa laut masih lestari. Sebab ia mengkonsumsi jasad renik dalam jumlah banyak. Tentu hanya di laut yang sehat kebutuhannya bisa terpenuhi,” sebutnya.
Penulis sendiri, pernah benar-benar bertemu dengan kancah-kancah dalam perjalanan menuju pulau Pieh sekitar 5 tahun lalu. Kala itu, penulis tidak begitu paham dengan aturan di laut. Bahwa tidak boleh seseorang yang sedang mencari ikan menyatakan ketidakpuasannya dengan hasil tangkapan. Lantaran pancing penulis hanya disambar ikan-ikan kecil, penulis khilaf dan mengucapkan kekecewaan. Tungganai kapal yang penulis tumpangi bersama keluarga ketika itu memperingatkan dengan keras agar tidak mengeluh. “Beko kalua nan gadang tu lai, lai ndak takuik?” katanya. Tak lama, sebagian kawasan perairan di kejauhan tampak gelap. Penulis berdiri. “Itu nyo a tibo,” kata sang tungganai.
Benar saja, bagian yang gelap itu seperti ikan yang besarnya sebesar perahu payang. Pelan-pelan sirip punggungnya muncul. Hampir setinggi pintu! Tapi kancah-kancah sama sekali tidak mengganggu. Sejumlah nelayan mengatakan sifatnya hampir sama seperti lumba-lumba. Bahkan pernah ada kisah tentang kapal nelayan yang terbalik lalu di dorong ke tepi oleh makhluk raksasa itu. Ada lagi nama ikan Juhuang. Ini menurut para nelayan adalah pari raksasa. Menurut Dr. Taufik, seorang anggota Kito Fishing Club, pari ini adalah sejenis pari manta. “Menurut cerita teman yang kapalnya pernah dilarikan Juhuang, ikan ini berenang sangat cepat. Bila sauh kapal salah tambat, maka badan juhuanglah yang tersangkut. Juhuang akan bergerak bereaksi. Karena itu kapal ikut terbawa serta,” katanya. Kecepatan kapal yang terbawa sangat tinggi. “Kalau dimasukkan tanga ke air, maka akan terasa kecipakan air yang sangat kuat pertanda kapal bergerak sangat cepat,” katanya.Masih banyak kepercayaan masyarakat lokal tentang laut Piaman. Tapi dibalik itu, sesungguhnya ada pesan agar setiap generasi turut menjaga lingkungan laut.
Penulis, Ajo Wayoik
- Esai: Syekh Siti Jenar dan Pembangkangan atas Keseragaman | Fatah Anshori - 6 Oktober 2024
- Essay Ketika Seorang Antonio José Bolívar Memilih Masuk ke Hutan | Fatah Anshori - 29 September 2024
- Cerpen Seperti Mama Melakukannya | Putri Oktaviani - 28 September 2024
Discussion about this post