Pilem-pilem diproduksi oleh semua negara seantero bumi ini dengan ragam genre/tema/ide dan lainnya. Ada banyak pula alasan mengapa para sutradara menyajikan pilem yang mereka garap. Paling tidak 10 tahun belakang, India dan Amerika menjadi negara dengan produksi pilem terbanyak. Jika India mampu 1000 judul lebih pertahun, Amerika nyaris mencapai angka tersebut untuk produksi pilem kurun waktu setahun. Namun, dengan mengejutkan pada tahun 2019 Nigeria masuk dalam daftar no. 2 negara dengan produksi pilem terbanyak. Jika Amerika punya Hollywood maka Nigeria punya Nollywood. Negara dari Afrika barat ini menghasilkan sebanyak 1660 film pada tahun 2019 dan kebanyakan mengusung tema tentang kehidupan rakyat Afrika. Meski demikian ada beberapa rumor buruk tentang Nollywood seperti kualitas video yang buruk, pemain yang tidak dibayar dan perlengkapan yang amatir. Tapi bagi penonton, tentu saja itu jadi bagian penting. Meski latar belakang pembuatan pilem cukup bisa dipahami, semisalnya soal pembiayaan. Tidak adanya pendanaan dalam produksi pilem juga menjadi pengaruh besar terhadap pilem yang dihasilkan. Tapi, hal demikian bagi sebagian sineas atau film maker tak menjadi benteng penghalang.
India yang kerap masuk dalam daftar 10 negara termiskin di dunia saja masih tetap konsisten setiap tahun berada dalam 3 besar negara yang memproduksi pilem terbanyak. Terlepas suka atau tidaknya masyarakat Indonesia dengan warna perpileman India, mereka nyaris selalu dapat perhatian dunia dalam pilem-pilem yang mereka hasilnya. Tapi, Indonesia, masih saja terkendala alasan-alasan beragam. Sehingga tak heran pilem yang dihasilkan sekedar tumpukan adegan-adegan saja dengan babak yang berbelit-belit, atau ekspos harta kekayaan manusia dan alamnya semata. Kemelaratan yang dibalut hanya sekedar menghasilkan haru sesaat, tidak merubah apa-apa setelahnya. Semuanya cukup dalam pilem saja, tidak perlu diterapkan pada kehidupan nyata. Padahal pilem masih menjadi senjata ampuh negara-negara maju meluncurkan propaganda ataupun konspirasi yang memengaruhi dunia. Paling tidak masyarakat mereka. Ada banyak pilem yang mampu mengubah pandangan banyak orang akan satu hal, sehingga diterapkan di kehidupan nyata. Waw.
Pilem-pilem bagus kerap lahir dari penulis-penulis skenario yang mumpuni. Penulis yang memang rajin riset apa-apa yang sedang ia kerjakan, penulis yang benar-benar mengerjakan proyeknya dengan tulus tanpa embel-embel penghargaan bergensi yang dihadiahi tepuk tangan atau pin keemasan. Pilem hadir dengan tujuan masing-masing, ada sebagai pengingat, komersil, momen, sejarah, propaganda, konspirasi dan lainnya. Tapi pilem dibuat dengan satu tujuan yang sama, yaitu memberikan suguhan/hiburan untuk penontonnya. Setelahnya, penonton menjadi pemilik utuh pilem tersebut.
Perpileman tumbuh sebagaimana cendawan di belantara hutan; menjamur namun sangat rentan mati. Sebut saja Indonesia, dengan memiliki sineas dan film maker yang mumpuni, nyatanya tidak membuat Indonesia menghasilkan skena perpileman yang menjanjikan. Di beberapa pertemuan, bahkan konferensi pers, sutradara bahkan produser masih mengeluh soal uang. Uang nampaknya di Indonesia menjadi modal utama dalam hal apapun, bahkan untuk video reels 1 menit juga membutuhkan uang. Ide besar dengan referensi kelas wahid nyatanya menjadikan para kreator pilem tacakiak; ide besar, tapi dana tak ada.
baca juga: https://marewai.com/sedikit-kurang-banyak-berlebih-catatan-catatan-yang-kerap-terlupakan-dalam-proses-berkarya-marewain-co/
Tapi, pilem-pilem besar selalu muncul dari ide-ide kecil yang dikembangkan. Sebut saja pilem Parasite, Korea Selatan. Pilem yang menceritakan satu keluarga yang bekerja di sebuah rumah kaya. Parasite adalah perjuangan kelas dan kesenjangan sosial. Banyak persinggungan sosial lainnya yang dihadirkan pilem ini. Namun, tentu saja ini pilem yang digarap amat serius, detail dan rapat secara cerita. Bukan semata mengejar view layaknya series atau sinetron ala-ala.
Banyak contoh sukses pilem-pilem yang dibuat swadaya tetapi menghasilkan efek cukup besar bagi penontonnya, paling tidak masyarakat terdekat. Tapi, bagaimana menerapkan hal demikian, sedangkan tidak semua sineas/film maker punya mental dan jaringan begitu? Ditambah pula kurangnya apresiasi untuk perfileman lokal di Indonesia. Ruang yang minim didukung oleh apresiasi kelas bawah menjadikan iklim perpileman jadi tabrakan dengan kenyataanya; untuk apa bersusah-susah jika yang dihasilkan cuma tepuk tangan. Waw.
Pilem itu akhirnya diputar perdana di Kupi Batigo, Padang pada hari Jumat 16 Februari 2024. Kafe yang cukup luas dan membuka lebar kesempatan kolaborasi dengan komunitas lintas ranah. Marewai N’Co Production menjadi ruang baru bagi kawan-kawan di Serikat Budaya Marewai untuk menyambung atau paling tidak ruang bagi kawan-kawan berkarya dalam dunia perpileman–videografi. Di lokasi ini kami mendapatkan tawaran yang menjadi kesempatan, bahwa pilem ini sangat layak diputar di Kupi Batigo. Owner begitu apresiasi dengan kerja-kerja kreatif kawan-kawan di Marewai N’Co, sehingga langsung memberikan tawaran untuk diputar di lokasinya. Mantap.
Kemudian aktor. Dengan berbagai warna konsen masing-masing, aktor hadir jadi bagian yang sangat penting dalam pilem ini. Chalvin Pratama sebagai Samsudin dengan adegan paling banyak menjadikan pilem ini sebagai pilem pertamanya, belum lagi Zera Permana yang biasanya sibuk dengan manuskrip dan perjalanan napak tilas sejarah Minangkabau,sekarang harus berakting dengan juniornya sendiri (Chalvin). Hanya Ardanela (Saripah) yang cukup mumpuni secara perjalanan karir sebagai aktor. Sebelumnya ia juga menjadi pemeran penting dalam pilem Roehana Koeddoes pahlawan nasional dan wartawati pertama Indonesia yang diangkat dalam sebuah film biografi yang berjudul “Soenting Melajoe” (Sunting Melayu). Film karya Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (LPP TVRI).
Lalu aktor-aktor lainnya yang cukup memberi andil besar dalam terciptanya pilem “SIA?” produksi Marewai N’Co ini. Dengan bermodalkan semangat dan kerja-kerja kolektif, Rori Aroka dan Badril HS (Sutradara dan Produser) mengkonsep pilem ini hingga bagian terkecil sekalipun. Bermodalkan kesepakatan yang kuat serta komitmen antar sesama pemeran dan crew, pilem ini berlangsung sejak pertengahan Desember 2023 sampai akhir Desember 2023. Dengan waktu yang relatif singkat, Badril HS sekaligus Videografer merangkai cerita ini lewat lensanya dengan seksama, bahkan amat serius. Canggih!
Kendala-kendala yang dialami selama pembuatan pilem SIA? layaknya sebuah pelajaran berharga dalam karir siapapun yang ikut andil dalam pembuatannya, terlebih Marewai N’Co yang masih terbilang ruang baru di skena perpileman Sumatra Barat. Sekedar melanjutkan semangat kawan-kawan terdahulu, atau biduk baru bagi kawan-kawan di Marewai menumpangkan semangatnya. Namun, semangat itu benar-benar nyalang ketika pilem ini dieksekusi dengan suka cita; makan bersama, debat, ulur waktu, konsep, aktor dan lainnya. Eh, bukankan kerja kreatif serupa ini butuh bagi otak untuk dipancing agar berjalan sesuai dengan alur. Biaya awal yang tidak pernah terpikirkan tiba-tiba muncul dari tangan-tangan dermawan yang mengapresiasi penuh kerja kawan-kawan di Marewai. Belum lagi doa kelancaran dari handaitaulan untuk Serikat Budaya Marewai yang selalu perhatian, bahkan menawarkan diri. Salut.
Pemeran
Leman : Zera Permana
Saripah : Ardanela
Samsudin : Chalvin Pratama
Salewa : Riska Atika
Siti : Anjali Sabna
Mak Datuak : Budi Irwandi
Supir Datuak : Harry Ngik
Saipul : Hanifega Satria
Lintono : Rizki Aprima
Kepala Kampung : Risnandar Tjia
Tim Produksi
Produser: Badril HS
Sutradara: Rori Aroka
Ast Sutradara: Harry Ngik
Artistik : Arif P. Putra
Konsumsi: M. Fajri Aji
DOP: Rimba Satu Awan & Rian FS
Editor: Mahameru Project
Music: Harry Ngik & Ferri Irawan
Sinopsis:
Perjalanan seorang pandeka yang hendak mencari ilmu kaji yang sebenar-benarnya, biasa disebut juga sebagai “mamutui kaji/putus kaji/putui kaji”. Artinya pencarian seseorang tentang ujung dari ilmu yang ia pelajari, sehingga harus diselesaikan hingga tuntas. Namun, Rori sebagai penulis serta sutradara langsung menyiratkan lain pula dalam film ini. Ia malah menghadirkan titik balik kehidupan sang pandeka yang punya masa lalu kelam dan kejam itu. Dari sanalah kisah “SIA?” berangkat, kemudian disambungkan alurnya oleh tokoh utama dalam film ini, yaitu, Samsudin. Alur, latar, plot, sudut pandang, nyaris rapat dibuat penulis naskah. Rentetan yang tak dikebat erat seolah-olah ingin menyampaikan sesuatu yang dalam, tapi sepintas tragis. Terlihat lucu, tapi terdengar ironis. Nampak hilang, tapi masih terasa ada. Kadang nampak buru-buru, tapi tidak cepat. Kadang patah sepatah-patahnya, namun tidak lepas.
- Tim Kenal Adat: Progress Awal dalam Mengimplementasikan Project Sociopreneurship Innovillage 2024 di Perkampungan Adat Sijunjung - 14 Desember 2024
- Cakap Pilem: Vedaa, 2024 | Kasta Dalit dan Potret Kehidupan Nyata Perempuan India – Arif P. Putra - 7 November 2024
- Cakap Film: Raayan – Kemelut Persaudara dan Peghianatan - 18 September 2024
Discussion about this post