Kau punya janji pada Mazel. Bukan. Kau sendiri yang meminta dia datang menemanimu yang sudah hampir tiga jam menyeduh teh sembari menulis ide-ide pahit bakal ceritamu.
“Apakah mungkin tidak ada harapan? Aku mau usul. Tak bisakah kau ubah bakal cerpenmu menjadi sebuah cerita yang romatis?”
“Aku tidak peduli. Aku tidak berniat mengubahnya. Kau tahu hubungan antara penulis dengan sebuah karya? Salah satunya, jika penulis sedang sakit jiwa, maka kamu bisa membaca beberapa tokoh ceritanya juga kena penyakit aneh mematikan. Putus cinta seakan mau mampus, misalnya.” Kau benar-benar tertarik menulis cerita begini.
Sekilas kau tidak dapat mencerna dengan akal sehatmu. Bagaimana mungkin seorang perempuan modern sepertimu bisa-bisanya jatuh cinta pada hal-hal tolol dan berniat menikahinya. Berawal hanya berorientasi pada keluguan karakternya. Bualan demi bualan kian membuatmu mabuk kepayang tak tahu malu menunjukkan rasa kasmaranmu.
“Kamu amankan saja melankolimu. Tak usah bawa-bawa cinta segala. Zaman sekarang cinta itu banyak yang busuk. Masuk melalui mulut-mulut manis. Disesap lambung. Dicerna usus dengan bantuan enzim. Kemudian ketika sari patinya habis maka ia dilempar paling hina ke lubang tahik. Nyemplung di toilet. Jangan tanya aromanya. Benar-benar tahik!” Jelas Mazel lagi.
Sejenak kau diam mengambil jeda. Akhir-akhir ini kamu memang mempunyai gangguan pencernaan. Tahikmu keras, kau lama jongkok di toliet. Ketika beberapa bagian dari ruas tahik nyemplung ( seperti ngeden anak saja), ada yang nyembul dari pantatmu. Hal itu menyebabkan kau susah duduk semacam ada beberapa batang kaktus tumbuh di sana. Kampret memang, katamu.
“Aku tegaskan, ya. Hal-hal yang berhubungan dengan tahik memang rumit. Jika tahik tidak diterima lubang toilet, jangan dikata aromanya, bulu hidungmu bisa mendadak rontok. Apalagi jika kamu sempat menginjak tahik anjing.” Lelaki itu tertawa seolah ikut menertawakan bagaimana patah hatimu yang gagal kawin pekan lalu.
“Sungguh mulia benda bernama toilet.” Kau menyentuh bibir cangkir teh lalu mendekatkan ke bibirmu yang merah jambu. Ini adalah cangkir keduamu, Mazel tengah memesan secangkir kopi hitam hangat. “Toilet memang benda yang paling ikhlas menerima. Maka, cinta yang paling menerima adalah cintanya toilet pada tahik.”
“Yang benar saja!” Mazel berusaha merengangkan hatinya “Kita adalah manusia-manusia yang dicampakkan. Meski kasus kita tak serupa, tapi akhirnya, tetaplah masih melajang di usia yang akan memasuki masa pramenaupouse.”
Kau kemudian berusaha membuka bibirmu yang tipis; berusaha menampakkan susunan gigimu yang rapi bersih, berusaha mencipta garis lengkung menyerupai bulan terbit setengah hadir di sana. “Kita memang payah!” Gelakmu memang terpaksa. Ingatanmu kemudian berada pada pekan lalu.
“Segalanya sudah disiapkan. Kita akan menikah. Kaupun tahu, aku juga tidak bermaksud ingin menyakitimu dengan begini. Maiska, sungguh. Aku…, aku….” Mendengar kalimat itu, kau menamparnya cukup keras. Jika saja tak dihalangi oleh hukum, kau mungkin akan membunuhnya, menusuknya dengan sumpit rambut yang kau pakai.
Namun, yang kamu lakukan selanjutnya adalah menepuk-nepuk dada. Ada yang sakit di sana. Bahkan lebih sakit ketika kau beberapa tahun lalu menderita batuk darah. ” Kau gila, ya! Pantas saja kau begitu tertutup. Gila! Gila!”
Teriakanmu melengking. Toilet plaza tingkat lima, tempat kalian bertengkar benar-benar bising karenamu. Kau tak bisa memilih kata yang cocok untuk menyumpahi dirimu. Kenapa tolol? Kenapa idiot? Lebih lagi, kalian baru saja melihat-lihat sapi yang kalian beli buat masakan pesta nanti. Kok jadi begini, sih? Sesial-sialnya hidup, kau belum pernah rasanya merasakan sial begini.
Toilet? Ah, ceritanya begini. Kalian akan mengunjungi salah satu tempat sewa baju pengantin. Tiba-tiba Pemuda Tolol—entah kata ‘pemuda’ ini harus kau dampingi dengan huruf /i/–kebelet pipis. Selebihnya, perasaanmu selama berbonceng—menuju plaza tempat kalian menyewa pakaian pengantin—dengannya tak enak. Kau melingkarkan tangan ke dadanya. Kau berusaha menepis, ada sebagian laki-laki juga punya dada menonjol begitu. Kau kemudian melirik sebuah jakun terselat di tenggorokannya. Dia punya, syukurlah.
Kekhawatiranmu kembali muncul, ketika kau dihubungi Mazel, ada yang tidak beres dari Pemuda(i) Tolol ini, bahwa ia agak berkelainan. Ia lembek dan payah seperti wanita saja. Begitu ejek Mazel ketika kau bilang sudah mendaftarkan pernikahanmu ke KUA. Yang benar saja, itu mengganggu pikiranmu. Mazel itu semacam cenayang, hampir setiap kosakatanya benar.
Sungguh, jika waktu itu pencernaanmu sedang baik-baik saja, kamu takkan pernah tahu hari-hari seperti apa yang bakal kamu lewati bersamanya. Akibat makan tumis pakis balado, kau mulas dan mencret. Kaupun juga tidak sadar toliet yang kau gunakan adalah toilet pria. Mukamu syok parah ketika mendobrak sebuah pintu dan menemukan Pemuda(i) Tolol itu tengah jongkok. Tak mungkin kamu jelaskan serincinya, penemuanmu itu di sini. Sial!
“Maiska. Aku…,” Kalimat Pemuda(i) Tolol itu terhenti saat kau membanting dengan keras pintu toilet. Persetan dengan pernikahan, gumammu. Pikiranmu benar-benar kacau. Kau pusing memikirkan bagaimana ngomong ini pada kolega, orangtua, dan menyurukkan malumu pada orang sekampung.
“Sudahlah! Jangan melampiaskan apapun yang terjadi padamu, juga ikut diderita tokoh-tokoh ceritamu. Buatlah tokoh-tokoh cerita yang mati bahagia. Atau kau bisa menulisku.” Mazel melirikmu, jika saja kamu peka, lirikan itu bukanlah sepenuhnya lirikan kasihan.
“Semacam kisah cintamu berakhir bahagia saja! Kau dicampakkan karena sudah tidak bermanfaat lagi. Payah!” Kali ini kamu benar-benar tertawa lepas. Maksudnya, kau juga membaca dari raut wajah Mazel bahwa ini bukanlah hal yang patut untuk ditertawakan.
“Hal-hal yang sudah menjadi tahik tak perlu lagi dikaji-kaji.”
“Setidaknya, aku mencintai perempuan tulen. Bukan banci.” Mazel menyeruput kopi hitam, baju kaus bergambar sepotong hati yang remuk tampak pas di busung dadanya.
“Mazel…, piawaii sekali kau menghibur diri, ya. Berapa uangmu ludes demi sebungkah cinta yang ia tawarkan. Kamu ikut membiayai kuliah kedokterannya, bukan?”
Kau tahu Mazel memanglah pemuda yang mati gaya jika kau utarakan hal itu. Mazel memang kelewat sinting, mau saja memberikan uang saku buat si pacar agar ia bahagia dan tak kekurangan kocek belanja. “Aku melihatmu seperti mengemis padanya. Kisah cintamu semacam sinetron. Habis manis manis sepah dibuang. Hahaha….” tawamu menggelegar. Menyaksikan lesung pipimu yang manis, Mazel diam-diam menikmati ledakan tawamu.
“Kau tidak akan menemukan orang yang sama sepertiku, Mai. Percayalah.” Mazel benar-benar ingin membuat ketawamu terus berlanjut. Hei, kali ini kamu malah terdiam.
“Mazel…,”
“Ya?”
“Bagaimana jika akhir ceritaku kutuliskan kau menikahiku saja.” Nada bicaramu terdengar tegas. Sekelebat hal seperti ingin diucapkan Mazel. Namun, yang ia lakukan hanya meneguk kopi hitam yang asap tipisnya masuk ke rongga hidungnya.
“Maiska, maukah kau menikah denganku?” Ucap Mazel sembari mengecup bibir gelas kopinya segera.
Penulis
Edna. S, berdomisili di Sungai Lundang, Pessel, Sumbar. Ia merupakan alumnus Universitas Negeri Padang. Ia menulis esai, cerpen, dan resensi yang karya-karyanya dimuat media cetak lokal dan daring. Ia dapat disapa via FB: Edna Susanti.
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post