Koko memakai sarungnya dan sebuah peci di kepala. Pemuda jangkung itu akan melanjutkan pekerjaan bapak di ladang. Selepas subuh, tanpa ngopi atau menghisap sebatang rokok bapak akan pergi meski perutnya belum terasupi makanan apapun. Ibu Koko bukan pemalas. Usianya telah sepuh, kakinya rapuh, dan pandangannya mulai tidak jelas terutama saat malam. Koko, itu panggilannya. Nama panjangnya, Ahmad Komari. Membantu bapak di ladang memang menghabiskan banyak waktu, terutama saat menikmati matahari terbenam dan angin sore yang tenang membelai setiap helai-helai rambutnya. Itu membuat Koko betah berlama-lama di sana sampai lupa telah ditinggal pulang, untung saja terdapat Lukman yang juga sama perilakunya dengan Koko selalu pulang telat karena lalai oleh suasana.
Ia telah tumbuh dewasa. Semenjak kejadian tujuh tahun lalu ia bertobat dan imannya tambah kuat. Apabila melintasi gunung Semenanjung untuk tiba di sawah lebih cepat, gunung gagah itu akan membuatnya trauma bahkan bisa jadi pingsan kalau diingat-ingat. Padahal, banyak sekali pendaki asal luar kota mengunjungi dan berkemah di sana. Namun, tidak bagi pemuda itu. Ia begitu menghindari apalagi saat malam. Jika tidak pergi dengan bapak atau teman setia, ia tak punya nyali untuk lewat. Meski sudah bertahun-tahun yang lalu, siapa mampu menghalau rasa trauma yang telah menjamur sampai ke mentalnya.
Koko yang telah bersiap-siap mengambil cangkul dan kecapi. Memakai sendal lalu minta izin pada ibu agar mendoakannya. Menyusuri rumah-rumah tradisional desa itu, membuat pandangan tidak jemu dan hati sendu. Seorang lelaki memanggilnya dari belakang, iapun menoleh untuk merespon.
“Koko, bapakmu sakit lagi,”tanya Sulaiman sambil menggeser kan caturnya.
“Oh iya Leman. Biasa, akulah yang ganti.”
“Oh sakit apa Ko?”
“Giginya. Kemarin silap aku, lupa bilang kue itu banyak gulanya.”
“Lah kasihan bapakmu. Dasar ceroboh…ceroboh.” Jawab Leman sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Itulah, ngak ingat. Ok aku lanjut ya.”
“Eh tunggu dulu, sudah kau kasih obat?”.
Eh Leman kan penjual obat, pasti ia sedang menawarkannya. Tetapi, bukan sembuh malah gagal total. Bahkan kemarin saat Sri Ningsih adiknya sakit, malah tambah parah. Ucapnya dalam hati
“Eh hehehe sudah Leman.”
“Oh begitu “
“Aku diluan ya.”
Koko kembali melanjutkan perjalanannya. Tapi, di seberang sana sedang dibangun rekrontruksi jembatan layang. Koko menerawang akan ada jalan keluar untuk melintasinya. Semakin dilihat kepalanya tambah pusing dan akhirnya memutuskan jalan nekat.
GUNUNG SEMENANJUNG, sepi dan tanpa bapak.
Dengan keberanian yang dipaksakan, ia akhirnya memilih melewatinya.
Bismillah…. bismillah… bismillah
Astagfirullah.. astagfirullah… astagfirullah
Secara bergantian kalimat sakral itu ia sebut. Baik dalam hati dan lisannya.
Ia menatap langit. Terlihat mendung. Mengapa terburu-buru berpikir negatif. Ia juga belum sampai ke perbatasan.
“Demi bapak aku harus bisa. Usiaku telah 19 tahun. Ya Allah tolong selamatkan aku.”Pintanya dengan cemas.
Tiba-tiba petir menyambar. Hujan akhirnya turun, meski hanya rintik-rintik. Itu tetap akan membuat tubuhnya basah, nanti sakit dan tidak ada yang membantu di rumah. Beginilah nasib anak tertua. Dua adiknya sedang menimba ilmu di pesantren. Ia harus teguh meski terkadang sulit untuk bangkit dari rasa takut juga sedih. Ia harus mengalah bekerja di sawah, seusai tamat dari SMA. Padahal, Koko bercita-cita untuk ke kota menjadi ahli nuklir. Mimpi yang tinggi.
Sebuah pondok kecil terlihat di ujung kaki gunung. Ia sudah berada di tengah dan berlari kecil untuk berlindung agar tidak basah kuyup. Lihatlah, hujan semakin deras dan awan begitu gelap seperti perasaannya.
“Mengapa kakiku, kaku.”
Koko merasa ada sesuatu di kedua telapak kakinya. Ia mencoba menggerakkan, tetapi semakin payah. Tak lama setelah itu, ia berhasil lepas saat memaksa kaki cungkringnya lepas dari tanah aneh tersebut. Namun, yang terjadi ia terpeleset ke luar rumah kecil tempatnya tadi berteduh.
Saat mencoba berdiri, di kejauhan sosok wanita tua sedang memperhatikannya. Itu adalah masa lalunya yang mengerikan. Wajah itu, sama persis seperti rasa takutnya. Ingatan itu tetiba datang. Tujuh tahun saat ibu sedang mencincang daging kambing dari hasil qurban tetangga, Koko diminta tolong untuk memberi masakan gulai ke seorang wanita tua dibalik gunung. Tentu, itu akan sangat diterimanya karena ia akan dapat bermain sungai bersama teman-teman.
“Jangan macam-macam, ya, kamu. Awas kalau terjadi apa-apa dengan gulai ini, kamu tahu akibatnya.” Ancam ibu.
“Takkan aku makan buk. Itu satu kuali ibu masak akan membuat perutku meledak karena banyak. Tenang saja.”
“Baik, pergilah sana.”
Koko menenteng rantang sambil bersiul. Menganyun-ayunkannya tanpa peduli isi di dalam bisa saja tumpah. Leman memanggilnya, akhirnya iapun berhenti dan bercakap-cakap dengannya sampai lupa bahwa sore semakin petang. Ia kaget, cerita Leman membuatnya penasaran. Ini juga kebetulan, lewat gunung. Anak itupun berpamitan dan langsung ke gunung. Tanpa alas kaki, ia mendakinya. Rantang itu ia biarkan terduduk di kaki gunung. Padahal, jika ia hantarkan terlebih dahulu ke nenek Suminah akan cepat sampai. Rumah nenek, berdekatan dengan pos ronda tempat Koko dan Leman tadi berjumpa.
Setelah sejam mendaki gunung, karena ketangkasannya ia begitu mudah melewati setiap tanah lembab dan licin. Sungai itu sudah terlihat olehnya. Begitu indah dan belum pernah ia lihat. Ia turun dengan gaya berseluncur, selain menikmati keindahan sungai ia juga akan mandi dan mencari sesuatu yang dikatakan Leman.
Gyur….gyur….gyur…. Air sungai ia mainkan dengan riang, sedangkan waktu telah mamasuki magrib. Koko sadar waktu. Ia menyebarangi sungai yang tenang untuk sampai ke gua. Masuk ke dalam, dan menemukan benda kris dibaluti selendang merah. Terdapat buah-buahan segar dan bunga kembang disekelilingnya. Buah-buah itu masih ranum dan sangat segar untuk dirasa. Awalnya hanya jeruk, lalu mangga, dan anggur lezat. Semua dilahap sampai kenyang, ia pun tertidur dan terbangun dalam posisi telanjang kecuali celana pendek yang tersisa. Ia tersentak, hanya suara air sungai yang tenang terdengar. Sesekali suara jangkrik merang-rang disemak-semak. Koko keluar semua sudah gelap. Menyebrang juga tak mungkin, khawatir akan ada buaya di dalamnya. Apalagi ini malam. Tapi, Koko menantang, ia mencari cara agar bisa pulang. Tentunya melewati sungai. Sepasang wanita tua berada di pintu gua. Rambut panjang dengan bibir hitam. Koko, memanggil mereka. Saat melihat, kedua wanita itu menatap sinis dan mengacungkan tongkat yang menghempaskan Koko hingga masuk ke dalam air. Dua ekor buaya putih membolak balikkan matanya. Menuju ke arahnya seperti ingin memangsa. Koko berteriak dan meminta tolong, tapi percuma tak ada seorangpun yang mendengar.
Usahanya gagal untuk sampai ke tepian. Namun, ia berupaya untuk selamat. Bukan lewat jalur gunung, tetapi dari aliran irigasi menuju sawah. Tanpa menyerah ia berlari sekuat tenaga, sampai ia pingsan di pinggir jalan dan esoknya ditemukan warga dalam keadaan terluka. Sejak itu ia menyesal telah melanggar perintah ibunya untuk menghantar makanan. Kisah nenek penghuni sungai Petra untuk anak-anak nakal yang tidak mau mendengar nasihat orangtua terutama suka berbohong. Misteri nenek itu masih menjadi legenda, tetapi pernah terjadi dan nyata tentang seorang anak pembangkang. Entah si nenek atau jelmaan jin mana. Tetapi, para orangtua menjadikan ancaman untuk anak mereka yang nakal dan jahil. Saat Koko di bawa pulang, lalu sadarkan diri, ia ingat sebuah peristiwa buruk yang dirinya buat. Koko menyesal dan mengaku telah meninggalkan shalat magrib selama lima kali.
Penulis, Damay Ar-Rahman atau Damayanti alumni Universitas Malikussaleh dan IAIN Lhokseumawe merupakan pengajar dan sebagai penulis lepas. Penulis telah menerbitkan sembilan buah buku diantaranya Aksara Kerinduan (2017), Serpihan Kata (2018), Senandung Kata (2018), Bulan di Mata Airin (2018), Dalam Melodi Rindu (2018), Akhir Antara Kisah Aku dan Kamu (2020), Di Bawah Naungan Senja (2022), dan Musafir (2022). Tulisannya dimuat oleh surat kabar Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka, Jawa Pos Radar Lawu, Riau Pos, Sinar Indonesia Baru, Riau Sastra, Literasikalbar.com, Utusan Borneo dan E-Jurnal Doea Jiwa. Beberapa kali mengisi kelas menulis dan menjadi pelatih sastra. Saat ini penulis menetap di Lhokseumawe, Aceh. Ig/Fb @damay_ar-rahman
Media Sosial : @damayarrahman
Discussion about this post