Sebuah reaksi
Ganjil seminggu, tulisan ini aneh dan akan menjadi genap.
Sekitar tahun 2000 awal, aku tidak tau persis kurun waktunya. Kampung kami dilanda banjir parah. Paling tidak bagiku yang sewaktu itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Kampung kami dilanda banjir 2 hari 3 malam. Banjir yang sekiranya 2/3 meter. Masa itu kami sudah terbiasa tidur di pagu rumah, nyaris tiap rumah di kampung kami punya bilik darurat di pagu. Bahkan di rumahku pada satu kamar kami buat khusus untuk ruang darurat di pagu. Bila sewaktu-waktu banjir melanda, kami tidak perlu cemas numpang tidur. Ketika itu, kerabat kami yang berada di luar kampung akan mengantar makanan tiap pagi, bahkan sore. Aku tidak tau persis masa itu apa penyebab banjir melanda sampai berhari-hari. Ya, tentu saja dengan ketinggian air yang beragam. Kadang pagi hari surut, kemudian sorenya naik lagi. Begitu selama 2 hari tiga malam. Saat itu, selama hidupku, pertama kali aku merasakan makanan bantuan dari pemerintah. Aku tidak tau persis instansi mana yang mengirimkan; roti kering, permen dan mie sakura yang lebih enak dimakan mentah ketimbang direbus.
Pengalaman itu masih membekas sampai sekarang: makan berdiri, ritual tulak banjir dan segala macam cilaka yang jadi hal biasa. Di kampungku, aku sebutkan saja, Koto Baru, Kecamatan Sutera, Kab. Pesisir Selatan, Propinsi Sumatra Barat. Biasanya, sebelum adanya pengalihan air di sungai batang Surantih yang berhulu di Langgai, kampung kami adalah langganan banjir. Bahkan, kami malah heran kalau-kalau dalam setahun tidak terjadi banjir. Lagi, aku tidak tau persis apa upaya pemerintah dalam penanggulangan bencana banjir kala itu. Bantuan untuk warga korban banjir pun tidak sama sekali. Eh, bagaimana bisa aku mengatakan demikian? Di kampungku, rumahku termasuk lokasi dengan kontur tanah terendah. Tidak perlu banjir bandang, hujan beberapa jam saja sudah bisa dipastikan air meluap ke dalam rumah. Aku tidak terima bila ini kesalahan nenekku yang memberikan jatah ulayat ke mama.
Masa itu, mungkin sampai aku tamat sekolah menengah atas. Aku benar-benar tidak tau, ternyata warga terkena bencana wajib diberi bantuan oleh pemerintah. Sungguh, masa itu aku tidak peduli dengan apa-apa tugas dan kewajiban pemerintah. Meski orang tua laki-lakiku cukup kerap berbaur dengan mereka. Tapi lagi, banjir agaknya telah bersipangku dengan masyarakat kami. Bahkan tidak pernah mengeluh ataupun menanyakan adakah bantuan dari pemerintah. Satu-satunya yang diharapkan hanyalah bantuan dari kerabat yang tidak terkena banjir.
Ketika mulai sekolah di Padang, perlahan aku memahami bagaimana masyarakat Padang yang juga menjadi langganan banjir. Bagaimana mereka memprotes tidak adanya bantuan pemerintah. Awalnya aku merasa aneh, toh, kami di kampung nyaris merasakan banjir tiap hujan deras. Barulah suatu tahun terjadi banjir besar di Padang, dari sana aku tau ternyata banjir ada jenisnya, yaitu Banjir Bandang. Itu pertama kali aku mengetahui ternyata debit air besar yang datang dari hulu disebut banjir bandang. Bahkan menjadi bencana nasional. Waw.
Pada masa kuliah, aku kadang merasa agak aneh ketika banjir-banjir habis hitungan jam terjadi di Padang, apalagi di kota-kota besar. Aku menyebutnya genangan semata. Toh, di rumahku nyaris terjadi banjir tiap 3 bulan sekali. Paling tidak 3/4 kali dalam setahun. Itu bisa dipastikan. Tapi itu sungguh pikiran yang dangkal dan bodoh. Tentu saja situasinya berbeda. Ketika terjadi banjir di kampung, perasaanku biasa saja. Keluargaku tidak pernah mengabarkannya dramatis, nada risau ataupun menceritakan kerugian. Jelas itu bagus. Kami terbiasa menimba air banjir yang tersisa di rumah, membersihkan sisa tanah. Bahkan suatu tahun, eh, acap mungkin. Banjir terjadi menjelang hari raya. Misalnya, pada malam takbiran. Seingatku, pernah dua atau tiga kali. Dan kami menghabiskan waktu lebaran dengan bau lumpur dan rumah berantakan; perkakas rumah terjemur, bau lembab pakaian dan segala benda elektronik mati. Kami mulai dari awal lagi merapikan rumah yang beberapa hari sebelumnya sudah diset untuk hari raya. Aku juga sudah terbiasa di tongkrongan diolok-olok teman sebaya tentang banjir yang paling awal masuk rumahku. Tapi tak pernah terbesit dibenaku untuk dendam, atau memarahi mereka. Toh, bagi kami itu lelucon basi. Bahkan, tidak lucu jika dipakai.
Sungguh kampung yang menyenangkan, masa-masa indah kanak-kanakku di sana. Segala bentuk kehidupanku sekarang adalah hasil dari lingkungan di sana. Buah yang saat ini terus aku kantongi ke manapun pergi: kampung halaman. Itu sebabnya kadang aku menjadi sentimen kepada orang-orang yang menjelek-jelekan kampung halamannya. Atau bicara sesumbar betapa benci dan tidak inginnya dia pulang kampung. Walau aku tau itu kan hak dia.
Sebelumnya tidak pernah aku merasa gamang begini bila terjadi banjir di kampung. Malam kamis 07/03/2024, aku sangat risau, tiap sebentar kutanyai situasi terkini di kampung, lewat grup whatsapp atau pesan pribadi. Bahkan semua kontak kutelpon untuk menanyai keadaan kampung, terutama rumahku. Dan naas, banjir itu sudah mencapai setengah atap rumah. Di banyak story, bahkan media sosial sudahlah berseliweran momen-momen menyedihkan terkait banjir. Ironis, miris, dan menyayat hati. Seorang wanita paruh baya dengan 3 orang anak kecil nampak berusaha bertahan dalam genangan air dalam rumahnya. Mungkin itu neneknya, diam mematung dan anak-anak itu menangis, begitu juga dengan yang merekamnya. Di video lain, air ganas mengalir memperlihatkan putusnya jembatan penghubung sebuah kampung. Di lainnya lagi, rumah menyisakan atap saja, selebihnya air. Lagi, sifat sentimenku muncul. Aku terganggu dengan konten-konten bencana yang memperlihatkan wajah orang di dalamnya. Bahkan kalimat-kalimat menyedihkan yang diucapkan ataupun kepsyen yang mendramatisir keadaan. Murung dan benar-benar berkabung.
Kembali aku teringat sebuah mitos lama tentang orang mati tenggelam. Beberapa minggu lalu seorang lelaki meninggal dunia di sungai, mungkin empat minggu yang lalu. Dan mayatnya ditemukan mengapung Kamis sore di sebuah muara, beberapa jam sebelum banjir besar melanda kampung kami. Kata orang dulu, laut akan marah ketika menerima tubuh manusia yang mati (bangkai manusia) hal itu menyebabkan hujan badai dan cuaca buruk sampai sang mayat dikebumikan. Entahlah. Ini cerita kampungku, jadi kalian boleh saja membantahnya dalam hati bukan kampungmu saja yang dilanda banjir. Tapi aku, begitu risau, tak bisa tenang, jantungku berdetak kencang, tiap kulihat keluar, tiap itu pula aku ingat ponakan, adik-adik, ibu-ibu di kampungku. Bayangkan, kami tidak lagi memakai ruang darurat di pagu setelah proyek pengalihan air dieksekusi. Itu sangat membantu dan memang sangat jarang sekali banjir terjadi setelahnya. Tapi minggu lalu, banjir yang tak pernah terbayangkan datang. Banjir dengan debit air terbesar sepanjang sejarah kampungku. Bahkan kecamatan kami.
Di aplikasi whatsapp teman-teman di kampung mengirimkan gambar dan video situasi terkini. Bahkan seorang teman mengirim voicenote, agar pesan itu lekas ditangkap dan diteruskan. Tapi bagaimana lagi, semuanya telah berkelindan. Semua sektor agaknya telah berusaha maksimal, tapi bencana itu memutus banyak akses menuju lokasi terparah. Jembatan putus, debit air yang besar, hujan lebat, lampu mati. Klasik, sungguh klasik. Tuhan punya banyak cara menguji kesabaran kita, begitu tulis seorang kawan lewat pesan whatsapp. Tidak ada yang bisa disalahkan saat itu. Semua dalam kesulitan. Bahkan jika aku dalam situasi itu, mungkin saja sedang nyender di atas pagu sambil mendengar rabab peruntungan.
Setelah hujan reda, aku kembali teringat ponakan-ponakanku dan seluruh kanak-kanak di kampungku. Bagaimana mereka melewati itu semua dengan kaget, tidak ada pengisi daya batrei hape yang biasanya lekat di tangannya. Bagaimana wanita-wanita muda tak dapat melihat media sosial, atau gadis-gadis jadi absen nonton drakor dan para pemuda terpaksa mengurungkan niat untuk push rank. Tapi semuanya nampak normal, story tertawa saat banjir, kakakku yang marah saat kutelepon dan mengumpat, “aneh banjir kali ini tak beri aba-aba dulu”, ponakanku yang terpaksa menyusun papan di pagu buat berlindung, dan lain sebagai. Di media sosial, para pejabat mulai menyingsing lengan celananya. Bermodal kecanggihan abad purba: mantel. Mereka menyisir, membelah banjir. Dengan kedalaman air setinggi paha, seorang pejabat berdiri layaknya superhero yang seolah segera berenang berubah menjadi aquaman. Waw.
Aku benar-benar mencemaskan karib kerabatku. Tiba-tiba mataku nyalang menyalahkan banyak hal; penebangan pohon secara liar, pembabatan lahan, penambangan pasir dan berbagai penyebab lainnya yang menyebabkan banjir besar itu datang tanpa basabasi. Biasanya ia datang pelan-pelan, seolah memberi peringatan. Atau manusia sekarang saja yang tidak lagi mengerti tanda-tanda alam. Eh. Semakin membuatku sedih, ini adalah kali pertama kudapati kabar bencana banjir di kampung menelan korban. Sungguh menyedihkan, sangat tragis.
Di subuh yang lembab, aku berusaha menahan emosi membuat tulisan ini. Berusaha tidak menyebutkan nama siapapun. Toh, pada akhirnya aku akan membaca kita semua berduka, kita semua terkena bencana. Di subuh yang terasa lambat ini, suara azan kudengar mendayu, hanya sayup rinai dari dalam kamar menderu bagai perasaan karib kerabat yang menunggui pasang surut. Lagi, sebuah pesan whatsapp masuk, “pasang sudah surut dua bata”. Aku ingin membalas, ” Masa baru dua bata?” Bagaimana tidak, ketinggian air mencapai atap rumah, pasang baru surut 2 bata. Lalu sebuah pemberitahuan masuk, “mohon yang kenal petugas PLN jangan menghidupkan lampu dulu, dunsanak kita banyak berlindung di pagu.” Aneh, biasanya mengumpat kalau lambat hidup lampu. Tapi yang membahagiakan, ternyata masih ada pemuda-pemuda di kampung yang begitu peduli dengan masyarakat. Ada yang terus meminta bantuan, memberikan informasi terbaru, mengabarkan situasi di daerah terdampak parah dan segera mengiyakan jika hujan reda, mereka akan segera memantau situasi warga. Salut.
Di hari-hari cilaka begini. Aku jadi teringat sebuah obrolan pada masa kanak-kanak dulu, masa dimana masyarakat masih memercayai pawang hujan. Bahkan pawang banjir. Bagi sebagian orang mungkin ini terdengar janggal dan menentang agama. Tapi aku tidak menolak pendapat itu. Juga tidak sepenuhnya mengiyakan kepercayaan demikian. Ada atau tidak adanya tetua yang dipercayai mempunyai pengetahuan menerka bintang dan menerka tanda alam itu kembali kepada masing-masing. Yang pasti bencana ini patut direnungkan. Patut menjadi sebuah bahan pembahasan bagi pemerintah juga. Tentu cuaca masam serupa ini adalah kehendak Tuhan, tapi tentu pula ada asap pasti ada api. Dan sampai detik ini, banjir debit air masih tinggi, bagi pemerintah diharapkan bantuannya. Kami memohon.
Semoga keselamatan selalu menyertai karib kerabat kami yang sedang dirundung bencana alam. Kesehatan mendekati, kesabaran menyertai. Sekali lagi, ini hanya tentang bencana di kampungku. Di kampung lain tentu saja doa ini membersamai mereka. Turut berduka atas bencana alam yang melanda seluruh wilayah di Pesisir Selatan, terutama wilayah Tarusan dan Langgai. Segala kebaikan dan doa menyertai jiwa korban–yang tinggal diberikan kelapangan hati selapang-lapangnya. Tulisan ini saya tulis Jumat, 08/03/2024 setelah masyarakat mulai mengetahui banjir terjadi begitu dahsyat.
- Ketuklah Pintu Itu, 2025, Kami Menunggu dan Siap Melanjutkan - 1 Januari 2025
- Tim Kenal Adat: Progress Awal dalam Mengimplementasikan Project Sociopreneurship Innovillage 2024 di Perkampungan Adat Sijunjung - 14 Desember 2024
- Cakap Pilem: Vedaa, 2024 | Kasta Dalit dan Potret Kehidupan Nyata Perempuan India – Arif P. Putra - 7 November 2024
Discussion about this post